Ahmadi pernah berkata bahwa kebanyakan dari pemimpin kami terdahulu—dan juga sekarang ini—adalah kawanan berandal. Dari mereka yang berjabatan paling tinggi sampai yang paling rendah, terus saja bertikai dan memelihara permusuhan; saling menyikut, menyepak, dan menerjang demi kepentingan dan keuntungan diri mereka sendiri, tanpa mereka pernah menghiraukan nasib penduduk, dan mereka tidak pernah merasa rugi ataupun berdosa bila negeri ini hancur dan binasa di tangan mereka, padahal mereka itu sebagai pemangku amanah, pemikul tanggung-jawab, dan penentu nasib kami semua.
Orang-orang bedebah semacam itulah yang menjadi sosok agung dan terpandang di negeri ini, yang selalu menunjukkan betapa bijak dan mulianya diri mereka. Mereka saling membusuk-busukkan satu sama lain, diam-diam membayar tentara untuk meleyapkan saingannya. Sebelum lawan politiknya mati ditembak, dia sempat memuji-mujinya di depan khalayak, dan dia berpura-pura terkejut begitu petinggi militer mengumumkan kematian orang yang menjadi musuhnya, yang diisukan kemudian bahwa korban yang binasa adalah kaki-tangan pemberontak.
Ahmadi berkata, “Pemimpin-pemimpin di sini jauh lebih hina dari budak! Malah mereka berada di bawah telapak kaki sahaya, yang mereka itu selalu memuji-muji kebebalan kaum lamit!”