Oleh Arafat Nur
Dimuat Harian Waspada, Minggu (26/10).
GERIMIS selalu jatuh di Ubud sekalipun musik kemarau karena gesekan agin dan kampung ini berada di dataran tinggi dengan bukit-bukit. Jalan sering basah dengan khas aroma bunga, baik yang ada di pohon maupun sesajian di setiap pojok kedai dan toko. Jalanan selalu ramai dengan turis-turis berpakaian mini dan yang lelaki kebanyakan mengenakan celana puntung.
Sejak 5 0ktober 2011, Ubud yang merupakan sebuah perkampungan budaya di Gianyar-Bali sudah dipenuhi dengan orang asing, bule-bule berkulit putih dan sebagiannya berkulit gelap. Di sana sedang dilangsungkan hajatan bergengsi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), tak kurang dari 20 negara mengikuti perhelatan itu dengan 131 penulis yang terlibat dalam acara.
Saya merupakan peserta satu-satunya dari Aceh yang lolos seleksi dengan novel Lampuki, yang salah satu bab novel itu kemudian dialih-bahasakan ke Inggris dan tergabung dalam antologi Nandurin Karang Awak UWRF: Cultivate The Land Within, bersama 14 penulis Indonesia lainnya, sebagai upaya perkenalan karya Indonesia pada khalayak Internasional.
"Pagelaran kali ini lebih istimewa dibanding tahun kemarin," kata pendiri sekaligus Direktur UWRF, Janet de Neefe, saat pembukaan festival itu di Indus Restauran, Jalan Raya Sanggingan, Ubud. Keistimewaannya karena penulis yang mengikuti festival ini sangat plural, baik dari segi genre maupun tema buku. Tak hanya itu, festival tahun ini juga dikarenakan banyak acara yang ditujukan bagi pendidikan anak-anak. Ada story telling, pelajaran menulis yang baik bagi anak-anak hingga memberikan wawasan jurnalistik dan cara penulisan serta mempergunakan bahasa dengan baik.
UWRF kali ini merupakan yang ke delapan dan paling meriah dengan peserta dan pengunjung yang lebih banyak. Jalan-jalan dipenuhi turis asing dan jarang sekali ada orang yang tidak berbicara dengan bahasa Inggris. Terus terang, saya tidak pandai berkata bahasa asing sekalipun saya banyak membaca karya asing akhir-akhir ini. Saya hanya membaca karya asing terjemahan, sehingga kala tampil sebagai pembicara dalam diskusi saya terpaksa menggunakan penerjemah. Ternyata kemudian bukan saya saja yang bertindak begitu, sejumlah penulis Indonesia lainnya juga menggunakan jasa penerjemah yang disiapkan panitia.
Sejumlah hotel dan cafe pun penuh, selalu saja ada acara, dari pergelaran musik, diskusi, dan acara minum-minum. Bir dan anggur adalah minuman paling bebas. Lelaki dan perempuan berbaur di antara musik dan aroma yang asing, tanpa menanggalkan nuansa relejius khas Hindu. Tak ubahnya seperti modernitas di Jepang yang tetap mempertahankan nilai kultul dan tradisional di tengah situasi yang jauh memisahkan.
Tentu saja saya tak biasa melihat perempuan-perempuan berpakaian minim, karena di Aceh tidak dibolehkan akan hal itu. Di Bali tidak ada masalah dengan baju ketat dan rok minim, bahkan suatu petang di Ubud saya melihat seorang perempuan hanya menggenakan kutang dengan celana minim yang mirip celana dalam. Dia berjalan tanpa risau ataupun canggung, seakan-akan demikianlah pakaian mereka hari-hari di depan umum.
Sejumlah galery lukisan juga tak urung membuat saya terkesima, dengan lukisan-lukisan perempuan yang tidak menutup dadanya. Malahan di bagian bawah dibiarkan terbuka, ada yang sekedar tertutup dengan selendang tipis. Anggota tubuh di tempat ini bukanlah sesuatu yang aib, bahkan terkesan terpadu dengan spiritual yang tidak mudah kita pahami, entah itu memang berlandas dari nilai budaya atau agama.
Namun, di tempat ini tidak ada yang memandang asing, begitu juga saya, seolah-olah semua itu adalah bagian dari ritual budaya yang tidak perlu dipersoalkan. Pernah saya pertanya pada seorang gadis perjilbab tentang lukisan yang menunjukkan buah dada yang tersemat di dinding sebuah cafe. Saya bertanya, bagaimana perasaan kamu ketikan melihat lukisan itu? “Malu juga sih!” dia menjawab. Hanya itu, dan tak ada persoalan lain.
Saya juga berkenalan dengan banyak penulis beken Indonesia yang sebelumnya hanya saya kenali namanya saja. Di sana juga saya saling berkenalan dengan penulis-penulis dunia dan juga mereka yang bergerak di bidang penerbitan. Di antara yang saya kenali itu, salah seorangnya mengaku jauh hari sudah membeli novel Lampuki dan membagikan pada dua temannya yang bergerak di bidang terjemahan. “Saya tertarik untuk membantu menerjemahkan novel ini ke bahasa Inggris,” kata David yang sengaja menemui saya selagi kami di gedung Mesium.
Bukan dia seorang saja yang tertarik dengan novel ini, tetapi para pengunjung yang mendengarkan ceramah saya saat diskusi di Indus Cafe, berharap mereka dapat membaca Lampuki secara untuh dalam bahasa Indonesia. Pada kesempatan itu saya membeberkan tentang perang Aceh dan segala hal yang menimpa rakyat, yang kemudian mendorong semangat saya untuk menulis novel itu. Setelah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010, pada saat itu juga saya mendengar kabar bahwa Lampuki masuk dalam 10 besar nominator Khatulistiwa Literary Award (KLA).
Saya kira semua itu bukanlah masalah penting, tetapi bagaimana usaha kita memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Tentunya saya juga berkewajiban memperkenalkan Aceh ke mata internasional, dan ini hanya dapat saya lakukan bila Lampuki diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Turis-turis yang datang ke Indonesia itu sebenarnya asing juga dengan dunia dan budaya kita, makanya kita perlu memperkenalkan semua ini pada mereka yang ingin banyak tahu.