Minggu, 16 Oktober 2011

Meraba Lebih dalam Isi Lampuki

LAMPUKI
Dimuat di Waspada, Senin (17/10) 
BANDA ACEH (Waspada): Lampuki ini diawali dengan sebuah kalimat yang tidak biasa. Simak tulisan diawal novel Lampuki; Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia telentang, dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang.
        Menurut Mohammad al Azhir pembukaan ini menarik karena sejak awal novel ini langsung menuju pada pusat cerita tentang sbeuah kampung bernama Lampuki.  Tetapi bagi golongan tertentu, pembukaan ini agak terasa menganggu dan langsung terseret pada persepsi, jangan-jangan ini novel picisan. Disinilah perlunya keberanian seorang penulis untuk menentukan segmen pembacanya.
       
“Saya memposisikan diri sebagai bukan orang Aceh, dan pura-pura tidak tahu bahasa Aceh. Jadi saya memilih tidak paham apa arti kata Lampuki. Yang saya pahami Lampuki hanyalah sebuah novel tentang gebalau politik di daerah kampung,” kata Mohammad al Azhir di Pustaka Rumah Cahaya Banda Aceh, Minggu (16/10) saat membedah novel Lampuki yang memenangkan hadiah DKJ 2010 ini.
        Salah satu hal menarik dari novel ini banyak menggunakan simbol. Seperti Si Kumis untuk Ahmadi, Si Rupawan untuk Jibral, Si Pesek untuk para tentara dari Jawa (Paijo, Sukiman) dan lain-lain. Ini sesuatu hal yang tidak bisa menginspirasi dalam sastra, ujarnya.
        Novel ini ditulis oleh putra asli Aceh. Maka tengoklah kalimat berikut, “Oleh sebab itu pula, alam perkampungan Lampuki sekarang lebih hijau dan penduduknya semakin terbelakang, miskin, kumuh, sehingga watak mereka yang asli semakin tampak; pemalas, pendengk, nyinyir, kasar, suka memaki, pemberang, dan cepat naik darah. Namun, ketika menghadapi para tentara, tubuh mereka membungkuk-bungkuk, meringkuk, dan kepala mereka merunduk seperti sahaya hina, budak yang tak ada harga.
       Tulisan di atas tidak mungkin dilakukan oleh Snouck Hurgronje  yang mengarang De Atjehers, apalagi oleh saya.  Ungkap tersebut hanya boleh dilakukan oleh pengarang dari daerah setempat, putra asli. “Orang luar yang berani menulis kelemahan sebuah suku, pasti sudah sakit jiwanya dan riwayatnya tidaklah panjang,” tandasnya.(cmk/b14)