BOLEH dibilang, akhir-akhir ini, Arafat Nur (penulis novel Lampuki) sedang menjalani banyak kesibukan hari-hari. Baik membuat tugas laporan maupun menghadiri sejumlah acara dan undangan. Demikian pun dia tetap rajin menulis novel.
Menurutnya dia selalu berusaha meluangkan waktu untuk itu. Kadang-kadang sampai harus membatalkan undangan keluar daerah. Pasalnya, selagi dalam perjalanan dia sulit untuk bisa menulis. Jadi, waktu menulis baginya kebanyakan di rumah. "Saya lebih nyaman menulis di rumah. Tanpa ada kenyamanan sulit bagi saya untuk menulis," ujarnya.
Ngomong-ngomong Arafat sedang menulis novel apa? Ternyata dia sudi membocorkan judul novel barunya. Judulnya Sakara, kata dia. Sakara adalah cerita mengenai seorang juru warta muda yang terjebak dalam dunia hitam. Di sebuah kota yang baru usai di landa perang, masuknya pengaruh-pengaruh modern di tengah hiruk-pikuk dan runtuhnya moral, banyak sisi-sisi gelap terselubung dari dunia yang gamang; di sanalah Fais berkubang tanpa bisa melepaskan diri.
"Semua itu bermula dari tekad pribadi untuk mengungkap keberadaan istri-istri simpanan Tuan Sakir—yang saat itu mencalonkan sebagai walikota-- justru kemudian malah menjerumuskan dia dalam petualangan liar dan terlarang," ucap Arafat Nur menjelaskan.
Dia merencanakan novel ini selesai pada tahun ini juga. Namun, katanya, sebuah rencana sering tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi menulis novel baginya banyak menemui tantangan dan rintangan. "Doakan saja saya diberikan tenaga dan kesehatan," pintanya.(Asha Zahra)
JIKA
kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang
berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang
mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia
ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan,
dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.
26. Ada tawaran-tawaran yang berbeda bagaimana memandang Aceh dari novel Burung Terbang di Kelam Malam.
Tokoh Fais yang berprofesi sebagai seorang wartawan membeberkan dengan
lugas dan terbuka tentang prilaku manusia-manusia hipokrit dan amoral
yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi di negeri dengan hukum
syariat yang (konon) ketat. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari
semua itu, lewat perjalanan ambisiusnya membongkar sisi kelam tuan calon
walikota—yang kemudian mempertemukannya dengan banyak perempuan—tokoh
aku sesungguhnya tengah mencari dirinya sendiri, juga cinta.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Maka,
dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya.
Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik
politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya.
Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat
menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada
cinta sejatinya.
Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap
kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan
cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut
kehilangan, dan kesedihan yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa
humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas
dan mengalir.
Pujian -Pujian Pembaca:
1.
Sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat
dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma
menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan
kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa
yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam,
telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang
terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali.
—Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai.
2.
Novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu,
dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu,
lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang
dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat. Alur ceritanya runut
dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan
kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel
ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi
cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan
politik yang banyak ditemui di negeri ini.
—Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan, menetap di Bali.
3. Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.
—Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.
4.
Dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan
keragaman budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik
usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada
khalyak ramai. Novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat
menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. Puji
syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang
begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan
kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya.
—John H. McGlynn, penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.
5.
Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita.
Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam sebuah
reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.
—Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.
6.
Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan,
agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah
jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan
ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang
berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka,
dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan
dari gaya bercerita dia.
—Joko Pinurbo, penyair.
7. Novel yang renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung Terbang di Kelam Malam memperbincangkan
perihal penting mengenai politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme
dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan kepahitan dan
kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini.
—Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan Bukan Permaisuri.
8.
Membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui
kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami
Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh
sekalipun, bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah
terjadi di bumi itu.
9. Disadari atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam,
niscaya membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat
mencengangkan. Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi pemahaman
terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir
yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya!
—Sanie B Kuncoro, cerpenis dan novelis yang cukup dikenal di dunia tulis-menulis.
10.
Arafat Nur berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis
sekaligus egois, idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus
munafik dalam jejaring cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman
politik yang licik.
—Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.
11.
Berani, genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini
seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan
bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan
bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua.
—Sandi Firly, penulis novel Lampau.
12.Burung Terbang di Kelam Malam adalah
anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa,
serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!
— Benny Arnas, cerpenis.
13. Burung Terbang di Kelam Malam tentulah
sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator
mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan
dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan
kontemplatif!
—Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
14.
Novel ini berkisah tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik
dan komik dari para manusia korban perang yang meletihkan. Dikemas
dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural yang begitu segar dan
memikat. Arafat Nur menyuguhkan kepada kita sejumlah snapshot yang akan
terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia dalam Burung Terbang di Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.
—Nezar Patria, sarjana filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra.
15.
Menghadirkan situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah
situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur
secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam dan kadang
dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus menghanyutkan.
Malah di tengah-tengah kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil
membebaskan diri dari segala rintangan belenggu seraya mencatat setiap
jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah sebuah potret dan
sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat: inilah Aceh
hari ini.
—Iyut Fitra, penyair, tinggal di Payakumbuh.
16.
Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat,
sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan
pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas
didedah dan dibeberkan dalam novel ini. Persoalan perempuan diceritakan
begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk
masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan
penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra,
dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!
—Bamby Cahyadi, cerpenis.
17.
Tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam
menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi
dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang
amat berkuasa. Sudut bidik cerita novel ini cukup baik dalam menyoroti
sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang di Aceh, begitu
kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas, dan saya sangat
berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan
sastra Indonesia.
—Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, tinggal di Lampung.
18. Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh
pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas
peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut
oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung Terbang di Kelam Malam adalah
sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan,
politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan
romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh
harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.
—Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.
19.
Cerita yang disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah
dapat diikuti, karena layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi
dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh
menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu tanpa terasa
dengan penuh tanda tanya.
—Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra, tinggil di Tangerang.
20.
Tema kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama
dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema
ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan
untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang
sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit
dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup
mahir.
—Kiai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur.
21.
Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si
pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi
pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini. Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki,
dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh
dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. Dia
menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian
tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan
seusai tsunami.
—Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai).
22. Pada dasarnya aku tidak suka novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam,
aku tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran, membangkitkan emosi;
sedih, haru, dan lucu. Aku suka sekali novel ini dan tidak bisa
berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Begitu indah
dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah aku baca. Tidak ada
kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga,
dan membuatku berkali-kali terpaksa menahan napas!
—Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.
23.
Sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap
situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa
mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui
pernak-pernik percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran. Arafat
Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas
diperhitungkan. Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim,
kerap membuat kita tersentak dan tercengang. Selain sastra, dia tahu
betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan yang tak kalah
penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya, memperjuangkan
hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri!
—Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia dan pencinta sastra.
24.
Kalau orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal
melewatkan begitu saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki,
bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua
kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka
sastra. Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu
mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat
jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati
berdebar.
—Nanda Feriana, mahasiswi penggemar sastra.
25. Saya harap Burung Terbang di Kelam Malam akan
memenangkan banyak penghargaan. Saya juga berharap suatu saat pembaca
Malaysia berkesempatan membaca novel ini karena sangat penting bagi
kedua negara untuk saling mengenal karya sastranya. Bahkan, kiranya
perlu juga diterjemahkan dalam bahasa lain agar pembaca di seluruh dunia
bisa menikmatinya.
—Sharon Bakar, pengajar penulisan kreatif, editor, dan Dosen Senior The University College of St Mark and St John, Kuala Lumpur.
Burung Terbang di Kelam Malam |
—Yetti A.KA, penulis buku kumpulan cerita Kinoli.
27. Melalui novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam, sekali
lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita
ulung. Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu
menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta
terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam
novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa,
gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan
melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.
Kecermatan
pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita Arafat Nur berhasil
mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan
Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan
menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan
selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.
—Ika Yuliana Kurniasih, editor Penerbit Bentang.
---------------------------------------------------------