Minggu, 29 April 2012

Menulis Sebagai Terapi, Sehat, dan Mencerdaskan

MENULIS peristiwa-peristiwa traumatik, penuh tekanan, serta peristiwa yang menguras emosi, dapat memicu untuk memperbaiki kesehatan fisik dan mental. Begitulah menurut Karen Baikie, seorang clinicial psychologist dari University of New South Wales setelah melalui pengujian.
     Effek perbaikan fisik dan mental bersumber dari kegiatan menulis ekpresif, semacam menulis prosa, baik buku harian, puisi, cerita pendek, maupun novel. Pada awalnya memang akan meningkatkan stres dan gejala fisik negatif lainnya, tetapi dalam jangka panjang akan memberikan manfaat bagi kesehatan fisik dan mental secara berangsur-angsur.
      Uniknya lagi, kegiatan menulis secara teratur dapat mengatasi keadaan stres, lantas meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi tekanan darah, memperbaiki fungsi paru-paru, fungsi lever, dan membantu dalam upaya penyembuhan seseorang yang sedang sakit. Selain itu dapat memunculkan gairah, merasa lebih baik, serta mengurangi gejala-gejala trauma, maka anak-anak di Aceh yang menjadi korban perang dianjurkan untuk menulis tentang diri mereka sendiri.
      Tentu saja bukan anak Aceh saja yang menghadapi banyak masalah. Hampir semua orang yang hidup memiliki masalah dan pengalaman menggugah, kalaupun tidak tentu bisa tentang orang lain di lingkungannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar diri kita tentu mempengaruhi kepribadian, pikiran dan tingkah laku. Menulis tentang diri sendiri juga bukan sesuatu yang buruk, setidaknya sebagai dokumentasi penting sejarah keluarga yang sulit ditulis orang lain. Maka, marilah menulis.
     Kegiatan menulis yang sehat ini bisa dimulai dengan kejadian-kejadian sederhana, dilakukan dengan keadaan rileks. Tuliskanlah apa yang terlintas, jangan menekankan diri untuk memikirkan apa yang hendak ditulis. Menulis apa saja yang melintas dengan pikiran jernih akan membuat tulisan lancar dan mengalir. Hal ini tidak akan mendapatkan kendala bila si pelaku punya kegemaran membaca buku apa saja.
      Memang aktifitas menulis itu tidak bisa lepas dari kegiatan membaca, sebab manusia tidak langsung pintar begitu dilahirkan. Seiring penyerapan ilmu pengetahuan melalui buku-buku dan diskusi lepas bersama orang-orang yang sepaham, amat mendukung mutu suatu tulisan. Namun, sekalipun tanpa interaksi dengan orang lain, kegiatan membaca yang baik sudah sangat membantu. Haruki Murakami, novelis hebat Jepang, sudah membuktikan hal itu, padahal sebelumnya dia menilai dirinya tidak memiliki bakat untuk menulis.
      Bagi Haruki, membaca adalah sebuah kebutuhan penting sebagaimana layaknya makan dan minum, dan hal itu adalah kebiasaan umum orang Jepang. Dia membaca karya-karya bermutu penulis Amerika dan lainnya. Setelah melalui masa yang panjang, suatu malam dia mencoba untuk memulai menulis di dapur kafe miliknya pada jam satu malam setelah kafenya tutup. Semuanya lancar-lancar saja dan secara teratur selama satu jam dia menulis hingga kemudian lahirlah novel Kaze No Uta O Keke (bahasa Jepang) atau Hear the Wind Sing (Inggris) atau Dengarlah Nyanyian Angin dalam bahasa Indonesia.
       Tidaklah terlalu muluk-muluk, karena Haruki adalah layaknya orang biasa yang menulis hal biasa di seputar diri dan lingkungannya. Dia menggambarkan kehidupan dan budaya Jepang dengan cerita yang begitu dekat, seoalah-olah dia sedang menceritakan masalahnya sendiri kepada teman. Namun, novel-novel Haruki yang amat sederhana ini sebetulnya rumit. Itulah kelebihan penulis yang namanya telah masuk dalam kandidat peraih Nobel ini.
      Lalu bagaimana seorang penulis itu bisa menjadi cerdas? Sesungguhnya menulis sesuatu yang sederhana saja membutuhkan pengetahuan dan pengetahuan tambahan. Misalnya untuk menuliskan tentang gajah, tentu tidak saja menuliskan bahwa gajah bertubuh besar. Perlu juga dijelaskan tentang kuping, belalai, cara berkembang biak, habitat, kebutuhan makanan, dan sebagainya. Hal semacam inilah yang menuntut penulis untuk mengumpulkan pengetahuan guna mendukung kelengkepan tulisannya.
      Dengan contoh lain, misalkan seseorang menuliskan sebuah cerita tentang seorang anak yang tinggal di perkampungan. Selain memunculkan konflik, sudah pasti juga dituntut untuk mengambarkan hubungan sosial, kearifan, perilaku, dan banyak hal lainnya. Dengan upaya-upaya seperti inilah, maka seseorang dituntut agar punya perhatian besar, setidaknya untuk mengamati seputaran masalah yang hendak ditulis.
      Menulis itu bukanlah beban, tetapi sebuah upaya mengeluarkan segala masalah yang menggelayuti pikiran dan jiwa. Di sisi lain dan yang paling utama, menulis punya tujuan penting untuk menghibur, mempengaruhi pola pikir, mencerdaskan, dan memberikan pencerahan kepada pembaca. Janganlah buat tulisan yang bertujuan untuk membodohi.[Arafat Nur/Waspada]