Rabu, 25 April 2012

Buku-buku di Atas Ranjang dan Mereka yang Meninggalkan Ranjang


Oleh: Ahda Imrah

“...atau situasi penuh ketegangan dalam masa konflik Aceh yang dituturkan lewat bangun perwatakan seorang guru ngaji (Tengku) yang cerdas sebagaimana Arafat Nur menyampainya lewat Lampuki—rasanya bukan lagi alasan bagi para kritikus untuk kembali mengulang alasannya yang kini terasa klise; bahwa kritik sastra sepi karena tak ada karya yang menarik untuk ditulis....”

BERBEDA dengan Sutarji Calzoem Bachri yang di tahun 2011 berusia sama dengannya—usia 70 tahun GM ditandai dengan terbitnya dua kumpulan puisi sekaligus, 70 Puisi dan Don Quixote, juga tiga buku kumpulan esai— Tokoh dan Pokok, Marxisme, Kesenian, Pembebasan dan  Indonesia/Proses.  Tak cukup hanya itu, penerbitan kelima buku ini lantas dilengkapi dengan dua agenda perbincangan ihwal dirinya—Bincang Tokoh yang diselenggarakan DKJ dan program Komunitas Salihara Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad.
       Lepas dari hubungannya sebagai penanda dari perayaan sebuah ulang-tahun, dua kumpulan puisi Goenawan Mohamad tetaplah membawa daya pikat tersendiri dalam posisinya sebagai penyair liris. Kedua  buku itu sekali lagi menjelaskan bagaimana ia merawat kesetiaannya pada konsepsi puisi liris yang merengkuh berbagai penemuan dan penjelajahan tema.   Sedang ketiga buku kumpulan esainya  memperlihatkan sejumlah gagasan dan cara pandangnya terhadap sejarah, identitas dalam konteks keindonesiaan, dan hubungan seni serta peran Marxisme dalam membangun hasrat kebebasan. Dibanding sastrawan segenerasinya, tampaknya hanya Goenawan yang masih menunjukkan “santan” dan produktivitasnya—yang terus mengganggu dan membuat cemburu para sastrawan generasi di bawahnya.
        Selain dua buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, di tahun 2011 sejumlah sastrawan juga menerbitkan buku terbarunya. Sebutlah, kumpulan Lumbung Perjumpaan (Agus R. Sarjono), Lalu Aku (Radhar Panca Dahana), Tulisan pada Tembok (Acep Zamzam Noor),  Pembuangan Phoenix (A. Muttaqien) atau novel Ratna Sarumpaet dengan novel pertamanya Maluku Kobaran Cintaku,  Tantri, Perempuan yang Bercerita itu (Cok Sawitri), Hotel Prodeo (Remy Silado), Tak Ada Santo dari Sirkus (Seno Joko Suyono), serta novel terbaru Ayu Utami  Manjali dan Cakrabirawa, dan kumpulan cerpen pertama penyair Mardi Luhung, Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku.
        Di luar nama-nama itu tentu saja terdapat sekian banyak karya sastra yang diterbitkan, diluncurkan, dan didiskusikan di berbagai kota. Termasuk antologi bersama yang diterbitkan sebagai penanda dari event pertemuan sastra, seperti, TSI IV Ternate IV yang menerbitkan Tuah Tara No Ate dan Risalah dari Ternate;  Ibu Kota Keberaksaraan (Jilfest 2 Jakarta); Akulah Musi (PPN V Palembang). Bahkan, KAPLF II Pekanbaru menerbitkan langsung tiga buku,  Sound of Asia, Malay as World Haritage on State, dan BecomingAfterSeoul. Demikian pula dengan pertemuan Dialog Borneo yang menerbitkan buku  Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia, Kalimantan dalam Prosa Indonesia, dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia.
       Seperti tahun sebelumnya, secara umum tak ada kumpulan puisi, novel, atau kumpulan cerpen yang menonjol dalam perbincangan sastra Indonesia 2011.  Tapi itu bukanlah berarti secara kualitas tak ada karya yang menarik. Hanya saja ruang perbincangan sastra Indonesia seolah tengah mengalami fragmentasi. Ia mengerucut menjadi pecahan dan ruang-ruang kecil yang saling berkejaran dan menimbun.
       Nyaris tak ada perbincangan yang mengendap.  Bahkan tidak juga untuk perbincangan ihwal kumpulan puisi Buli-buli Lima Kaki (Nirwan Dewanto), Perempuan yang Dihapus Namanya” (Avianti Armand), atau novel “Lampuki” (Arafat Nur)—yang ketiganya memenangi Khatulistiwa Award 2011. Khatulistiwa Award akhirnya hanya terkesan menjadi rutinitas tahunan untuk mencari para pemenang. Demikian pula dengan karya-karya pemenang Hadiah Sastra Rancage 2011 yang khusus memberi penghargaan pada sastra berbahasa daerah (Sunda, Jawa, dan Bali). 
        Alasan sebuah karya menjadi pemenang akhirnya hanya berhenti pada pertanggungjawaban dewan juri. Jika pun ada, maka biasanya tak lebih dari yang terpampang di halaman  resensi buku.  Hal yang sama juga terjadi pada tiga buku yang penerima Penghargaan Pusat Bahasa 2011, yakni, kumpulan puisi Kelenjar Laut (D.Zawawi Imron), 9 Negeri Nadira (Leila S Chudori), dan Mahabbah Rindu (Abidah El Khalieqy).
      Hal ini tak bisa disangkal bersebab dari tak adanya perkembangan kritik sastra Seperti tahun-tahun. Bagaimana Nirwan Dewanto memperlakukan bahasa dalam “Buli-buli Lima Kaki”, hakikat eksistensi perempuan dalam jagat kitab suci yang direpsensentasikan Avianti Armad lewat Perempuan yang Dihapus Namanya, atau situasi penuh ketegangan dalam masa konflik Aceh yang dituturkan lewat bangun perwatakan seorang guru ngaji (Tengku) yang cerdas sebagaimana Arafat Nur menyampainya lewat Lampuki—rasanya bukan lagi alasan bagi para kritikus untuk kembali mengulang alasannya yang kini terasa klise; bahwa kritik sastra sepi karena tak ada karya yang menarik untuk ditulis.
        Maka peran kritikus pun diambil oleh selera para redaktur halaman budaya suratkabar dan majalah sastra,  tim penyeleksi peserta pertemuan sastra, atau dewan juri anugerah sastra seperti Khatulistiwa Award. Jika pun kritik masih diperlukan, maka itu tak lebih dari pesanan penulis atau penerbit—kritik kata pengantar atau kata penutup buku, atau komentar di endorsmen. Karena itu jangan bandingkan jumlah penerbitan buku karya sastra dengan buku kumpulan esai atau yang bisa dikategorikan sebagai kritik sastra.
       Kehadiran Jurnal Kritik yang diterbitkan oleh The Intercultural Institut dan Komodo Books yang diluncurkan di PDS. H.B Jassin, 3 Mei 2011, seolah hendak memberi semacam harapan pada situasi kritik sastra Indonesia. Hanya saja pertanyaan apakah jurnal ini akan mampu bertahan lama, agaknya menjadi pesimisme yang lumrah. Tapi meminjam ungkapan pengamat politik Eep Saefullah Fatah— yang tampil sebagai pengulas dalam peluncuran jurnal itu—Lebih baik berhenti di tengah jalan ketimbang tak pernah memulai.
        Dari penerbit yang sama juga muncul Jurnal Sajak yang dikelola oleh Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Al Azhar, Agus R. Sarjono, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Berthold Damshäuser. Kehadiran kedua jurnal ini tampaknya ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan  oleh Jurnal Kalam, Jurnal Cerpen, atau Jurnal Puisi. Jurnal Sajak hadir dengan birokrasi keredaksian yang tak lazim demi keinginan memutuskan relasi antara puisi dan penyairnya. Puisi, dengan begitu, dihadapi dalam statusnya yang anonim.
        Peran komunitas sastra di berbagai kota turut menjadi makin bagian penting dari dinamika sastra Indonesia 2011. Pencantuman nama komunitas dalam biodata para sastrawan (muda) seakan menjelaskan kedudukan komunitas dalam proses kreatifnya.  Melalui militansi komunitas inilah sebenarnya daya hidup sastra terus tumbuh di berbagai kota, sebutlah Rumah Dunia (Banten), Tikar Pandan (Banda Aceh), Majelis Sastra Bandung (Bandung)—untuk sekadar menyebut beberapa nama.
        Keberadaan dan dinamika komunitas juga yang bertaut erat dengan peran jejaring sosial dunia maya. Jejaring sosial dunia maya, telah membawa semacam ekspansi publik sastra yang lebih beragam. Jika sebelumnya kampus selalu menjadi basis pertumbuhan komunitas-komunitas sastra dengan publik yang sangat terbatas, kini komunitas satra tak lagi hanya sekadar itu. Komunitas sastra bertumbuhan di luar kampus, dengan publik yang lebih beragam. 
        Kehadiran nama-nama baru, mulai membayangkan sejumlah harapan.  Karya-karya mereka setidaknya memperlihatkan usaha keras untuk tidak sekadar hadir begitu saja dalam pergaulan sastra Indonesia, melulu menjadi kerumunan respien di tengah style tradisi pengucapan yang telah ada dan menjadi keseragaman.  Ini, misalnya, bisa terasa dalam beberapa cerpen karya Beni Arnas (Palembang) dan Tonny Lesmana (Tasikmalaya), atau puisi Esha Tegar Putra (Padang), Mugya Syahreza Faisal (Bandung), atau Agit Yogi Subandi (Lampung), atau Arafat Nur (Lokhemawe Aceh).
         Tentu saja tulisan ini kelewat ringkas untuk membayangkan seluruh perkembangan dan dinamika sastra Indonesia sepanjang 365 hari kemarin. Meski begitu tulisan ini tak hendak melupakan mereka yang telah pulang lebih dulu di tahun 2011, seraya mengucapkan terima kasih atas seluruh jejak mereka pada sastra dan kebudayaan Indonesia; wartawan dan cerpenis Rosihan Anwar—lasykar terakhir Angkatan 45—cerpenis dan novelis Ratna Indrasari Ibrahim, penulis drama  Wisran Hadi dan  sastrawan Syubah Asa menyusul novelis Titi Said, sebelum diujung tahun 2011 (25 Desember 2011) cerpenis dan novelis Lan Fang pun berpulang. Kita pernah hidup bersama mereka, di atas ranjang sastra Indonesia yang kini spreinya lebih panjang dari kelambu ini.[]