Oleh Dr. Mehmet Ozay
TIADA masyarakat tanpa sejarah. Telah lama ditanyakan sejarah apa
yang mendidik kita. Saat ini kita hidup di zaman postmodern yang
merupakan fase terakhir dalam filosofi barat. Sebagaimana kerap kali
dinyatakan bahwa tahap tersebut adalah tahap di mana segalanya dianggap
relatif dan setiap sesuatu mungkin dipercayai. Akibatnya
terjadi banyak tekanan, khususnya dalam politik. Dan tanpa dapat
dipungkiri, ikut mempengaruhi persepsi kita akan sejarah baik secara
langsung maupun tidak.
Berbeda halnya dengan barat, Islam tidak mengulang
paradigma-paradigma yang sama seperti barat. Alasan mengangkat topik ini
dengan paragraf-paragraf sederhana adalah untuk mengingatkan masyarakat
kita tentang makna sejarah. Oleh karena itu, pembaca diharapkan dapat
menjawab pertanyaan: sejarah mengajarkan apa pada kita?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak ada salahnya jika kita
melihat satu contoh kontemporer dari negara jiran. Malaysia hari ini,
sebagaimana yang telah disahkan sebagai negara model bagi negara-negara
Islam atau negara dunia ke-3, menargetkan pencapaian anugrah negara no. 1
di dunia. Meskipun begitu, pemerintah baru-baru ini mengumumkan untuk
memprioritaskan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah negeri demi
pembangunan kembali sebuah masyarakat sederhana yang ideal, sesuai
dengan kebutuhan 3 etnik yang secara sejarah tidak dapat dipisahkan dari
negeri tersebut. Lalu, bagaimana halnya dengan Aceh?
Memang tidak tepat jika membandingkan situasi di Aceh dengan
Malaysia. Akan tetapi, persoalan tentang prioritas pengajaran dan
pembelajaran sejarah tidak dapat dipisahkan dari idealisme suatu
masyarakat, tidak hanya bagi generasi baru tapi juga bagi setiap strata
masyarakat yang bergelut dengan pemahaman dan implementasi pendidikan
kontemporer jangka panjang.
Bukankah kita menerima alasan-alasan sejarah yang mengatakan bahwa
masyarakat Aceh sangat idealis. Itulah sebabnya mengapa beberapa tahun
terakhir, masyarakat Aceh dari kalangan bawah hingga atas mengalami
proses perubahan secara berangsur dan tanpa bisa dipungkiri telah
menjadi contoh model dalam beberapa aspek secara regional dan global
bagi berbagai khalayak.
Dengan menghormat aspek idealistik masyarakat Aceh, fungsi dan peran
sejarah memang perlu untuk terus dikenang dan diperingati. Apa yang coba
kita tawarkan dengan tulisan ini adalah fakta bahwa tahun 2012 adalah
hari genapnya 501 tahun Kesultanan Aceh Darussalam, jika kita bersandar
pada tahun 1511 sebagai titik awal keberadaan kesultanan Aceh
Darussalam, sesuai dengan penemuan sumber-sumber sejarah. Apalagi
penyerahan Aceh pada tahun 1911, sebagaimana yang diakui oleh
tokoh-tokoh politik internasional 101 tahun yang lalu, merupakan periode
di mana Kesultanan Aceh Darussalam telah menyelesaikan fungsi dan
keberadaannya dalam sejarah.
Lalu, fakta tersebut membuktikan apa? Pertama, masa-masa hidupnya
kesultanan Aceh Darussalam dipertimbangkan sebagai masa yang luar biasa.
Kedua, di luar abad-abad tertentu, Kesultanan Aceh memainkan peranan
penting tak hanya secara regional tapi juga global. Itulah sebabnya
mengapa sejarah Aceh semestinya diberikan posisi berlebih dalam
perjalanan peradaban Islam.
Selama periode mengajar dan kegiatan penelitian yang saya laksanakan
di berbagai departemen dan di tengah-tengah masyarakat Aceh, saya
sungguh telah menyaksikan keterbelakangan akan sejarah mereka sendiri.
Namun di sisi lain, saya juga bertemu dengan orang-orang Aceh yang
memiliki pengetahuan sejarah membanggakan. Selain kebenaran dari
kenyataan yang pertama, saya tidak ingin megemukakan faktor-faktor yang
menyebabkan hasil tersebut.
Banyak pihak mempercayai bahwa sudah waktunya orang Aceh menilik
kembali sejarah mereka, dimulai dari abad-abad permulaan, katakanlah,
periode pre-pendidikan hingga periode tulisan dan media elektronik yang
memberikan ruang bergulirnya sejarah masyarakat Aceh saat ini. Saya
berharap, aparat pemerintah Aceh, universitas-universitas terkait, NGO
dan individu-individu terdidik di Aceh dapat merayakan 501 tahun ini
dengan penyelenggaran program-program yang menginspirasikan.
Seperti yang terlihat hari ini dan sebagaimana yang diyakini oleh
berbagai pihak, sejarah Aceh tidak hanya mendidik masyarakat kesukuan,
katakanlah suku-suku di Aceh, tapi juga segenap negara-negara Eropa
barat dan seluruh dunia Melayu. Sepatutnya juga kita tidak melewatkan
realita berkaitan dengan hubungan Aceh dan Turki. Sayang sekali,
mayoritas orang Turki sendiri tidak menyadari kontribusi-kontribusi
leluhurnya yang; mengerahkan perhatian terhadap geografi wilayah ini;
dalam beberapa hal terhadap kesultanan-kesulatanan di Asia Tenggara;
dalam perjalanan sejarah yang diawali dari tahun-tahun permulaan abad
ke-16, dan tidak pula menyadari makna Aceh bagi perkembangan sejarah
Islam.
Untuk mengatasi keadaan ini, saya tidak lupa untuk mengingatkan mereka akan betapa pentingnya membentuk departemen ‘Bahasa Melayu dan Literatur’ dan departemen ‘Sejarah Melayu dan Peradaban’
di Turki. Saya sendiri telah menyaksikan faktor tersurat dalam
pencatatan sejarah kesultanan Aceh Darussalam terkait implikasinya
terhadap Kesultanan Johor dalam beberapa bulan terakhir di Malaysia
melalui dua seminar internasional yang mengarah pada kesimpulan bahwa
tanpa Aceh tidak ada yang bisa menggenggam kemajuan-kemajuan di Johor.
Dengan menimbang setiap sisi sejarah Aceh, satu hal yang pasti, agar
segenap pihak membaca dan menuliskan kembali tidak hanya tentang sejarah
periode kolonialis tapi juga sejarah Islam. Ini menjadi kesempatan yang
baik untuk membangkitkan kembali tidak hanya tentang Aceh tapi juga
makna Asia Tenggara dalam konteks sejarah Islam. Karena, secara
geografis, Asia Tenggara telah dianugrahi posisi bagi perjalanan Sejarah
Islam, setelah pusat utamanya di Timur Tengah yang juga memiliki
problema tersendiri dalam kesejarahan karena masing-masing budaya telah
berkontribusi secara relatif terhadap tubuh peradaban Islam, khususnya
Aceh dan umumnya kesultanan-kesultanan Asia Tenggara yang tidak bisa
dilupakan.
Sejarah orang Aceh tidak hanya perlu untuk dibaca kembali tetapi juga
harus dipenggal dari pengaruh-pengaruh orientalisme. Sebagai pengingat,
sebagian tokoh meyakini bahwa beberapa sultan di Aceh seperti Sultan
Alaaddin Riayat Syah al-Kahhar (1537-1570 M) dan Iskandar Muda
(1607-1636), merupakan sultan yang fundamentalist, brutal dan lain
sebagainya. Contohnya, gelar al-Kahhar dianugrahkan kepada
Aladdin Riayat Syah berdasarkan terminologi Islam, bukan menurut
pemahaman bias tokoh-tokoh barat. Sebagaimana yang terlihat dalam
tulisan-tulisan Ferdinan Mendez Pinto, al-Kahhar digambarkan sebagai
‘tirani Aceh’ yang bekerjasama dengan Turki.
Sayangnya, sebagian akademisi-akademisi di Aceh telah menjadi aparat
pendekatan ideologi tersebut. Para akademisi seharusnya sensitif untuk
mengeliminasi metodologi-metodologi ilmiah barat dan ideologi yang
mempengaruhi mereka. Khususnya, sejak timbulnya minat negara-negara
barat untuk menawarkan pendidikan gratis atau kunjungan kebudayaan ke
negara-negara tertentu bagi institusi-institusi penelitian dan sekolah
di Asia Tenggara. Sebelum mencicipi kesempatan tersebut, merupakan
tanggung jawab sosial untuk memikirkan tentang berapa banyak bekal
pengetahuan ilmiah yang sudah dimiliki dan seberapa kuat mereka menjadi catalizors ideologi barat.
Sebagaimana yang dipikirkan, melaksanakan kajian-kajian yang
menyangkut posisi Aceh dalam sejarah dunia merupakan sebuah pekerjaan
ilmiah yang berat mengingat kajian tersebut membutuhkan penggalian
eksklusif terhadap berbagai arsip-arsip, tidak hanya Belanda dan Melayu,
tapi juga, Venis (Itali), Portugis, Yaman, Arab Saudi, Cina, Turki,
Persia, India, Perancis, Inggris, Denmark, Amerika, Thailand, dan
Bengal. Jika saya lupa menambahkan nama negara tertentu, silahkan Anda
sudi menambahkannya sendiri!
Anniversari yang ke-501 ini sepatutnya menjadi ajang untuk memulai
sesuatu yang baru demi menemukan sejarah Aceh dan mendidik kembali
generasi Aceh yang tentu tidak cukup hanya dengan mengadakan seminar
mungil. Saya mengetahui bahwa Aceh memiliki tokoh-tokoh intelektual dan
akademisi handal. Membentuk sebuah badan komite merupakan jalan
konstruktif untuk proyek jangka panjang, termasuk, sejarah oral,
arkeologi laut dan darat, arsitektur, penelitian keagamaan, bahasa dan
sastra Aceh, dan lain sebagainya. Meskipun seluruh domain di atas
difasilitasi oleh universitas dan pemerintah provinsi, aparat swasta
juga seharusnya mengambil tanggung jawab.
Sungguh, tiada lagi yang perlu ditemukan di Amerika. Ada banyak
contoh di Asia Tenggara tentang bagaimana merevitalisasi sejarah dan
mewujudkan agenda dengan program-program berkesinambungan sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Singapura dan
cabang-cabangnya.
Seperti yang telah saya saksikan sendiri, proses rancangan agenda
yang ditargetkan oleh Prof. Anthony Reid untuk membentuk sebuah badan
internasional berbasis sejarah Aceh ICAIOS tampaknya belum menghasilkan
suatu ‘bunyi’ yang mungkin disebabkan kegagalan penanggung jawab untuk
menangkap benang yang kuat demi menciptakan ciri khas institusi
tersebut.
Akan tetapi itu bukanlah masalah, ada cukup sumber benda dan tak
benda baik di Aceh sendiri atau di kalangan internasional. Sebagaimana
kita semua menyetujui, setiap perencanaan membutuhkan konsistensi,
profesionalisme, ketulusan, dan rasa cinta terhadap Aceh. (Dimuat Harian Aceh, Ahad 18 Maret 2012)
Dr. Mehmet Ozay, Peneliti Independent Berkebangsaan Turki. Pendiri/Secretary General Pusat Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT)/Aceh-Turkish Culture Center (ATCC). Kini
sedang menyelesaikan penelitiaannya tentang kitab karangan ulama Aceh
Masail al-Muhtadi Li Ikhwan al-Mubtadi, sebuah kitab bersastra tinggi
dalam bahasa Melayu Pasai beraksara Arab Jawi.