Senin, 23 April 2012

Makna 501 Tahun Peringatan Kesultanan Aceh

Oleh Dr. Mehmet Ozay
 
ARAFAT NUR
TIADA masyarakat tanpa sejarah. Telah lama ditanyakan sejarah apa yang mendidik kita. Saat ini kita hidup di zaman postmodern yang merupakan fase terakhir dalam filosofi barat. Sebagaimana kerap kali dinyatakan bahwa tahap tersebut adalah tahap di mana segalanya dianggap relatif dan setiap sesuatu mungkin dipercayai. Akibatnya terjadi banyak tekanan, khususnya dalam politik. Dan tanpa dapat dipungkiri, ikut mempengaruhi persepsi kita akan sejarah baik secara langsung maupun tidak.
      Berbeda halnya dengan barat, Islam tidak mengulang paradigma-paradigma yang sama seperti barat. Alasan mengangkat topik ini dengan paragraf-paragraf sederhana adalah untuk mengingatkan masyarakat kita tentang makna sejarah. Oleh karena itu, pembaca diharapkan dapat menjawab pertanyaan: sejarah mengajarkan apa pada kita?
       Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak ada salahnya jika kita melihat satu contoh kontemporer dari negara jiran. Malaysia hari ini, sebagaimana yang telah disahkan sebagai negara model bagi negara-negara Islam atau negara dunia ke-3, menargetkan pencapaian anugrah negara no. 1 di dunia. Meskipun begitu, pemerintah baru-baru ini mengumumkan untuk memprioritaskan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah negeri demi pembangunan kembali sebuah masyarakat sederhana yang ideal, sesuai dengan kebutuhan 3 etnik yang secara sejarah tidak dapat dipisahkan dari negeri tersebut. Lalu, bagaimana halnya dengan Aceh?
       Memang tidak tepat jika membandingkan situasi di Aceh dengan Malaysia. Akan tetapi, persoalan tentang prioritas pengajaran dan pembelajaran sejarah tidak dapat dipisahkan dari idealisme suatu masyarakat, tidak hanya bagi generasi baru tapi juga bagi setiap strata masyarakat yang bergelut dengan pemahaman dan implementasi pendidikan kontemporer jangka panjang.
      Bukankah kita menerima alasan-alasan sejarah yang mengatakan bahwa masyarakat Aceh sangat idealis. Itulah sebabnya mengapa beberapa tahun terakhir, masyarakat Aceh dari kalangan bawah hingga atas mengalami proses perubahan secara berangsur dan tanpa bisa dipungkiri telah menjadi contoh model dalam beberapa aspek secara regional dan global bagi berbagai khalayak.
      Dengan menghormat aspek idealistik masyarakat Aceh, fungsi dan peran sejarah memang perlu untuk terus dikenang dan diperingati. Apa yang coba kita tawarkan dengan tulisan ini adalah fakta bahwa tahun 2012 adalah hari genapnya 501 tahun Kesultanan Aceh Darussalam, jika kita bersandar pada tahun 1511 sebagai titik awal keberadaan kesultanan Aceh Darussalam, sesuai dengan penemuan sumber-sumber sejarah. Apalagi penyerahan Aceh pada tahun 1911, sebagaimana yang diakui oleh tokoh-tokoh politik internasional 101 tahun yang lalu, merupakan periode di mana Kesultanan Aceh Darussalam telah menyelesaikan fungsi dan keberadaannya dalam sejarah.
     Lalu, fakta tersebut membuktikan apa? Pertama, masa-masa hidupnya kesultanan Aceh Darussalam dipertimbangkan sebagai masa yang luar biasa. Kedua, di luar abad-abad tertentu, Kesultanan Aceh memainkan peranan penting tak hanya secara regional tapi juga global. Itulah sebabnya mengapa sejarah Aceh semestinya diberikan posisi berlebih dalam perjalanan peradaban Islam.
     Selama periode mengajar dan kegiatan penelitian yang saya laksanakan di berbagai departemen dan di tengah-tengah masyarakat Aceh, saya sungguh telah menyaksikan keterbelakangan akan sejarah mereka sendiri. Namun di sisi lain, saya juga bertemu dengan orang-orang Aceh yang memiliki pengetahuan sejarah membanggakan. Selain kebenaran dari kenyataan yang pertama, saya tidak ingin megemukakan faktor-faktor yang menyebabkan hasil tersebut.
     Banyak pihak mempercayai bahwa sudah waktunya orang Aceh menilik kembali sejarah mereka, dimulai dari abad-abad permulaan, katakanlah, periode pre-pendidikan hingga periode tulisan dan media elektronik yang memberikan ruang bergulirnya sejarah masyarakat Aceh saat ini. Saya berharap, aparat pemerintah Aceh, universitas-universitas terkait, NGO dan individu-individu terdidik di Aceh dapat merayakan 501 tahun ini dengan penyelenggaran program-program yang menginspirasikan.
      Seperti yang terlihat hari ini dan sebagaimana yang diyakini oleh berbagai pihak, sejarah Aceh tidak hanya mendidik masyarakat kesukuan, katakanlah suku-suku di Aceh, tapi juga segenap negara-negara Eropa barat dan seluruh dunia Melayu. Sepatutnya juga kita tidak melewatkan realita berkaitan dengan hubungan Aceh dan Turki. Sayang sekali, mayoritas orang Turki sendiri tidak menyadari kontribusi-kontribusi leluhurnya yang; mengerahkan perhatian terhadap geografi wilayah ini; dalam beberapa hal terhadap kesultanan-kesulatanan di Asia Tenggara; dalam perjalanan sejarah yang diawali dari tahun-tahun permulaan abad ke-16, dan tidak pula menyadari makna Aceh bagi perkembangan sejarah Islam.
      Untuk mengatasi keadaan ini, saya tidak lupa untuk mengingatkan mereka akan betapa pentingnya membentuk departemen ‘Bahasa Melayu dan Literatur’ dan departemen ‘Sejarah Melayu dan Peradaban’ di Turki. Saya sendiri telah menyaksikan faktor tersurat dalam pencatatan sejarah kesultanan Aceh Darussalam terkait implikasinya terhadap Kesultanan Johor dalam beberapa bulan terakhir di Malaysia melalui dua seminar internasional yang mengarah pada kesimpulan bahwa tanpa Aceh tidak ada yang bisa menggenggam kemajuan-kemajuan di Johor.
      Dengan menimbang setiap sisi sejarah Aceh, satu hal yang pasti, agar segenap pihak membaca dan menuliskan kembali tidak hanya tentang sejarah periode kolonialis tapi juga sejarah Islam. Ini menjadi kesempatan yang baik untuk membangkitkan kembali tidak hanya tentang Aceh tapi juga makna Asia Tenggara dalam konteks sejarah Islam. Karena, secara geografis, Asia Tenggara telah dianugrahi posisi bagi perjalanan Sejarah Islam, setelah pusat utamanya di Timur Tengah yang juga memiliki problema tersendiri dalam kesejarahan karena masing-masing budaya telah berkontribusi secara relatif terhadap tubuh peradaban Islam, khususnya Aceh dan umumnya kesultanan-kesultanan Asia Tenggara yang tidak bisa dilupakan.
     Sejarah orang Aceh tidak hanya perlu untuk dibaca kembali tetapi juga harus dipenggal dari pengaruh-pengaruh orientalisme. Sebagai pengingat, sebagian tokoh meyakini bahwa beberapa sultan di Aceh seperti Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Kahhar (1537-1570 M) dan Iskandar Muda (1607-1636), merupakan sultan yang fundamentalist, brutal dan lain sebagainya. Contohnya, gelar al-Kahhar dianugrahkan kepada Aladdin Riayat Syah berdasarkan terminologi Islam, bukan menurut pemahaman bias tokoh-tokoh barat. Sebagaimana yang terlihat dalam tulisan-tulisan Ferdinan Mendez Pinto, al-Kahhar digambarkan sebagai ‘tirani Aceh’ yang bekerjasama dengan Turki.
     Sayangnya, sebagian akademisi-akademisi di Aceh telah menjadi aparat pendekatan ideologi tersebut. Para akademisi seharusnya sensitif untuk mengeliminasi metodologi-metodologi ilmiah barat dan ideologi yang mempengaruhi mereka. Khususnya, sejak timbulnya minat negara-negara barat untuk menawarkan pendidikan gratis atau kunjungan kebudayaan ke negara-negara tertentu bagi institusi-institusi penelitian dan sekolah di Asia Tenggara. Sebelum mencicipi kesempatan tersebut, merupakan tanggung jawab sosial untuk memikirkan tentang berapa banyak bekal pengetahuan ilmiah yang sudah dimiliki dan seberapa kuat mereka menjadi catalizors ideologi barat.
      Sebagaimana yang dipikirkan, melaksanakan kajian-kajian yang menyangkut posisi Aceh dalam sejarah dunia merupakan sebuah pekerjaan ilmiah yang berat mengingat kajian tersebut membutuhkan penggalian eksklusif terhadap berbagai arsip-arsip, tidak hanya Belanda dan Melayu, tapi juga, Venis (Itali), Portugis, Yaman, Arab Saudi, Cina, Turki, Persia, India, Perancis, Inggris, Denmark, Amerika, Thailand, dan Bengal. Jika saya lupa menambahkan nama negara tertentu, silahkan Anda sudi menambahkannya sendiri!
      Anniversari yang ke-501 ini sepatutnya menjadi ajang untuk memulai sesuatu yang baru demi menemukan sejarah Aceh dan mendidik kembali generasi Aceh yang tentu tidak cukup hanya dengan mengadakan seminar mungil. Saya mengetahui bahwa Aceh memiliki tokoh-tokoh intelektual dan akademisi handal. Membentuk sebuah badan komite merupakan jalan konstruktif untuk proyek jangka panjang, termasuk, sejarah oral, arkeologi laut dan darat, arsitektur, penelitian keagamaan, bahasa dan sastra Aceh, dan lain sebagainya. Meskipun seluruh domain di atas difasilitasi oleh universitas dan pemerintah provinsi, aparat swasta juga seharusnya mengambil tanggung jawab.
      Sungguh, tiada lagi yang perlu ditemukan di Amerika. Ada banyak contoh di Asia Tenggara tentang bagaimana merevitalisasi sejarah dan mewujudkan agenda dengan program-program berkesinambungan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Singapura dan cabang-cabangnya.
      Seperti yang telah saya saksikan sendiri, proses rancangan agenda yang ditargetkan oleh Prof. Anthony Reid untuk membentuk sebuah badan internasional berbasis sejarah Aceh ICAIOS tampaknya belum menghasilkan suatu ‘bunyi’ yang mungkin disebabkan kegagalan penanggung jawab untuk menangkap benang yang kuat demi menciptakan ciri khas institusi tersebut.
      Akan tetapi itu bukanlah masalah, ada cukup sumber benda dan tak benda baik di Aceh sendiri atau di kalangan internasional. Sebagaimana kita semua menyetujui, setiap perencanaan membutuhkan konsistensi, profesionalisme, ketulusan, dan rasa cinta terhadap Aceh. (Dimuat Harian Aceh, Ahad 18 Maret 2012)

Dr. Mehmet Ozay, Peneliti Independent Berkebangsaan Turki. Pendiri/Secretary General Pusat Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT)/Aceh-Turkish Culture Center (ATCC). Kini sedang menyelesaikan penelitiaannya tentang kitab karangan ulama Aceh Masail al-Muhtadi Li Ikhwan al-Mubtadi, sebuah kitab bersastra tinggi dalam bahasa Melayu Pasai beraksara Arab Jawi.

Rate this:

 
 
 
 
 
 
Rate This