Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Mizan, 2005
Novel Menggugah tentang perjuangan seorang gadis Aceh korban perang. Meskipun sebatang kara, dia tetap berjuang semampunya dalam meraih hidup. Novel sedih yang diceritakan dengan cara yang tidak sedih. Novel ini mendapat banyak perhatian kalangan pembaca remaja.
Nukilan Cerita:
SIAPAKAH lelaki itu?
Dia tidak hanya lelaki biasa. Meutia bisa merasakan getar-getar aneh. Pada wajahnya memancar cahaya. Cahaya damai dan sejuk. Seperti cahaya yang terpancar dari keindahan hakiki. Mungkin dari wajah orang-orang suci. Tapi cahaya itu tidak pernah ia jumpai pada wajah teungku-teungku di dayah. Tempat Meutia menimba ilmu akhirat. Tempat terindah dalam hidupnya. Tempat ia menanam bunga-bunga ilahi di hatinya. Dulu tempat itu pernah menjadi surga kecil. Namun kini gersang dan hampa....
Lelaki itu membangkitkan kenangan dari ruang bawah sadar. Tentang sebuah mimpi yang tidak mungkin jadi kenyataan. Semuanya sudah hancur bersama musnahnya segala harapan. Akhir dari perjalanan hidupnya telah sampai pada titik penghabisan. Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan sejak tragedi mengerikan menimpa keluarganya. Sekarang tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Juga hidup ini sudah pupus.
Lelaki itu membangkitkan kenangan dari ruang bawah sadar. Tentang sebuah mimpi yang tidak mungkin jadi kenyataan. Semuanya sudah hancur bersama musnahnya segala harapan. Akhir dari perjalanan hidupnya telah sampai pada titik penghabisan. Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan sejak tragedi mengerikan menimpa keluarganya. Sekarang tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Juga hidup ini sudah pupus.
Namun mengapa kehadiran lelaki itu mengusiknya? Padahal gadis itu sudah memilih jalan hidupnya sendiri. Baginya sudah ada tempat ber-curhat. Walau Tuhan tidak pernah menjawab. Tapi ia yakin, surat-surat yang dikirimkannya sudah dibaca Tuhan. Terkadang dia merasa seperti menerima balasan. Mungkin melalui ilham.
Kehadiran lelaki itu membuat galau hatinya. Walau dia belum sempat bertutur-sapa. Tapi pandangan mata itu seperti menusuk. Menelanjangi segala ketersembunyian yang ada. Mata lelaki itu seperti menelusuri semua ruang sejarah yang sangat rapat terkunci dalam diri. Lelaki itu seperti sosok kakeknya, Abu Chik. Abu Chik adalah sosok ulama yang cukup disegani. Terkadang dia bisa tahu hal-hal tersembunyi.
Lelaki yang dilihatnya itu membalikkan lagi sejarah masa kecilnya. Pandangan matanya tajam, tapi begitu teduh. Menyiratkan kearifan seorang guru. Seperti mata Abu Chik. Kakeknya itu memang tidak memiliki banyak santri. Terutama saat usia uzur, hanya beberapa orang saja yang belajar kitab kuning. Meutia merupakan cucu satu-satunya yang paling dekat dengan kakek. Sedangkan abangnya, Kasah jarang mengunjungi kakek. Bahkan Bang Kasah hanya berada di rumah saat malam hari, atau waktu makan saja.
Meutia banyak mendengar dari ibu tentang keajaiban-keajaiban yang terjadi pada kakeknya. Beberapakali Abu Chik gagal dalam pembunuhan berencana. Pernah pada suatu malam datang segerombolan orang bersenjata menculiknya. Dia direset ke dalam mobil Taf. Tapi ketika mobil itu akan berangkat, rodanya tidak berputar. Orang-orang berbaju loreng itu ketakutan, dan akhirnya membiarkan saja orang tua itu turun dari kenderaan.....