Rabu, 25 April 2012

Saya Tidak Terima Apa yang Dikatakan Teungku, Tokoh dalam Novel Lampuki Arafat Nur

Oleh: Stebby Julionatan

SAYA tak ingin menyebut catatan ini sebuah resensi... ini adalah catatan membaca. Catatan membaca saya tentang Lampuki.
         Sejak pengumuman Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 diumumkan oleh dewan juri, saya tak sabar menunggu karya-karya mereka diterbitkan dan bisa saya baca. Salah satunya yang saya hunting adalah Jatisaba karya Ramayda Akmal. Tapi sayang, saya tinggal di kota kecil sehingga novel tersebut tak kunjung bisa saya dapatkan (novel-novel berbobot jarang dijual, toko-toko buku yang ada di tempat saya tinggal lebih banyak menjual novel-novel metropop yang memang lebih cepat laku penjualannya). Hingga suatu hari saya melihat Lampuki ada di salah satu deretan rak sebuah toko buku. Letaknya dibiarkan terselempit di sudut belakang, di bagian atas pula, hingga tak mudah dilihat. Sehingga kalau memang tidak teliti dan benar-benar mencari salah satu dari novel-novel berbobot ini, tentu tak akan melihatnya.
       Anehnya, setelah lama menantinya, saat menemukannya pun, ternyata saya tak serta merta, sesegera mungkin menggambilnya. Banyak yang saya timang-timang. Saya pertimbangkan. Ah, ini buku tentang Aceh. Apa yang menarik dari Aceh? Apalagi tentang GAM yang memang musuh bangsa ini. Begitulah beberapa pertanyaan yang bermunculan dari benark saya. Belum lagi sebuah gambar covernya yang terkesan kasar dengan kehadiran Si Kumis Ahmadi, dan ditambah lagi dengan salah satu komentar dari dewan juri yang mengatakan bahwa novel tersebut mengalir dengan cukup lambat, tentunya hal ini semakin membuat saya ragu-ragu dan mengurungkan niat saya untuk buru-buru membelinya, membelinya saat itu juga.
       Hingga kemudian karya ini banyak diperbincangkan selepas Arafat menjadi salah satu pembicara dan tamu kehormatan di Ubud Writers and Readers Festival 2011. Sejak itulah ketertarikan saya untuk membacanya semakin kuat. Ada apa dengan karya ini sehingga ia banyak dibicarakan. Saya kembali ke toko buku itu lagi dan untunglah, buku milik Arafat ini masih tergolek di sana. Tampak semakin lesu dan dipenuhi debu karena mungkin tak ada yang mempedulikannya. Saya segera menggambilnya, berlalu ke kasir, membayarnya dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Saya tak sabar untuk membacanya. Oia, sedikit catatan, saya membeli Lampuki ini tepat di peringatan Hari Pahlawan. Hari Pahlawan ke-66 (10 November 2011).
       Bagi saya yang lahir di jaman Orde Baru (Orba), mengikuti dan belajar sejarah ala Orba, jujur pasti terkaget-kaget dengan perbedaan cara pandang yang ada. Perbedaan cara pandang saya dengan sang Teuku, si tokoh “aku”, narator dalam novel ini. Utamanya cara pandang saya terhadap Indonesia. Nasionalisme saya:
       Pagi itu tatkala Karim berangkat meninggalkan kampung, dia sempat mencegatku di jalan depan rumah. Karim menyelipkan tiga lembar uang kertas dalam saku bajuku, uang kertas berwarna merah. Itulah warna yang punya nilai paling tinggi di negeri ini, serupa halnya warna bendera dan darah. Maka tidak salah bila mereka menyebutkan negeri ini –sambil bernyanyi-nyayi riang dan bangga- tanah tumpah darah. Memang selamanya negeri ini senang dengan pertumpahan darah. (hal. 178)
       Bagi saya yang mengikuti dan belajar sejarah versi Orba tentu merasa gelagapan dengan perbedaan pola pikirnya yang mengatakan bahwa tanah tumpah darah adalah tanah yang haus darah. Bagi saya yang belalajar sejarah versi Orba, senantiasa menganggap Indonesia sebagai tumpah darah yakni sebuah tanah, sebuah negara, sebuah wilayah teritorial yang memang “ketika itu” harus diperjuangkan dengan segenap jiwa raga dan sampai titik darah penghabisan oleh para pahlawan. Lain halnya dengan penduduk Lampuki, yang merasa bahwa, sejak lahirnya pemerintahan ini, sejak lahirnya negara ini, pemerintah tidak pernah adil dan kerap melanggar hak-hak mereka sebagai warga negara.
       “Tanpa ada malu, ia merengek-rengek di ketiak Teungku Daud supaya bersedia membantu negaranya yang dengan mudah kembali dikuasai Belanda. Dengan niat tulus, ulama kita percaya kata-kata temberangnya untuk menyatukan tanah ini dengan tanahnya. Dari mulut yang sedu sedan itu muncul janji-janji muluk yang indah menjijikkan!” Ahmadi melanjutkan dengan menggigit geraham sehingga untuk sejenak kumisnya tampak kaku bergetaran.
      Lantaran yakin betul akan linangan air matanya, lanjut Ahmadi, hati lelaki tua itu luruh tersentuh, dan menyerukan kepada sekalian rakyat agar mengumpulkan sebanyak-banyaknya derma. Tidak Cuma saudagar dan orang kaya saja yang menyumbang harta, bahkan orang papa sekalipun. Mereka bangga dapat memberikan beras hingga telur ayam hendak dieram induknya. Terkumpullah perhiasan, uang, lada, pala, cengkeh, padi dan segala benda lainnya yang berwujud 20 kilogram emas. Kemudian semuanya disumbangkan kepada kaum yang sedang sekarat, yang hendak kembali karam selagi berada di ujung tanduk kemerdekaan. Kelak, bahkan seorang saudagar dari tanah kami menyumbang 28 kilogram emas untuk dipajang di puncak tugu nasional di depan istana Karno.
      Begitulah, dari hasil uang derma rakyat kami itulah maka dibelilah pesawat terbang sebagai penyokong kebebasan mereka dari bangsa penjajah, menjadi angkutan pertama Nusantara yang diberi nama Garuda. Setelah mereka bebas dan menghirup udara segar, Karno kembali kepada kaumnya di Batavia. Dari jauh (jauh di sebarang lautan sana, hanya suaranya saja yang terdengar sampai kemari, dan dari gemanya amat menyakitkan hati dan telinga kami di sini) dia mengeluarkan maklumat, menghapus kekuasaan Teungku Daud dan menjadikan lelaki tua itu sebagai rakyat jelata yang tiada punya kuasa apa-apa. (hal 27-28)
     Atau...
     Tak lama beraanjak setelah tahun-tahun itu, aku dan orang-orang segera terbiasa menyaksikan kendaraan-kendaraan besar dan alat-alat berat yang digerakkan mesir laksana benda sihir yang patuh mengikuti kehendak manusia. Kelak, kami sekalian tahu kalau benda-benda itu sengaja didatangkan dari Amerika melalui bandar yang dibuat khusus untuk kepentingan pengeboran dan pembangunan dua kilang gas raksasa yang kemudian diikuti dengan tiga kilang lainnya.
      Pabrik mula-mula didirikan di Lhoksukon, lalu di Batuphat. Pabrik-pabrik itulah yang menguras dan mengeruk kekayaan alam dari perut bumi tanah Pasai untuk kepentingan pemerintah di seberang pulau sana. Kemudian, muncul lagi tiga kilang besar lain yang disokong kebutuhan bahan baku gas di Geukueh yang menghasilkan pupuk dan kertas. Lalu, hutan-hutan di sejumlah gunung titebas gundul dan tanahnya menjadi tandus (53-54)
      Padahal mereka (rakyat Aceh) telah membantu perjuangan berdirinya republik ini dengan apa yang mereka miliki. Jadi tak salah kalau mereka menjadi berang seperti itu.
      Tapi sekali lagi, bagi saya yang lahir, dibesarkan dan belajar sejarah versi Orba, (termasuk juga dicekoki tentang ganasnya pemberontakan rakyat Aceh selama 32 tahun Jendral Sipit berhati keji berkuasa) tentu tidak terima dengan apa yang disampaikan oleh Teungku, si narator yang seorang guru ngaji itu. Saya tetap berpendapat, terlepas siapa itu dulunya Teuku Daud dan apa yang ia sumbangkan bagi bangsa ini lewat Karno, bahwa NKRI adalah harga mati. J
      Hufffttt, entahlah. Aku tak yakin juga....
      Kembali ke soal Lampuki. Lampuki bercerita soal pemberontakan rakyat Aceh pada masa kejatuhan Jendral Sipit Murah Senyum Berhati Pesong. Lampuki adalah sebuah daerah atau desa yang ditinggali oleh Si Kumis, sang pemimpin pemberontakan, sang pahlawan yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah seberang lautan. Lampuki dikisahkan sebagai daerah yang tak (jarang) dicurigai sebagai sarang pemberontak karena letaknya yang terbuka, teratur dan tidak jauh dari pantauan tentara pengamanan. Jadi ingat kata sebuah pepatah, bahwa tempat yang paling aman adalah justru di sarang musuh.  
       Yang saya sukai dari keseluruhan novel Lampuki ada dua: Yang pertama adalah kisah mengenai perselingkuhan istri Si Kumis Ahmadi dengan Jibral Si Rupawan dan yang kedua adalah mengenai Si Pedagang Ganja. Kenapa dua bab itu saya sukai, sebab di dua bab itulah sebuah drama dibangun. Bagaimana sebuah idealisme sebuah perjuangan dibenturkan dengan cinta (atau boleh dikatakan nafsu), dengan sebentuk rasa “aman”, dengan kekuasaan dan juga dengan harta. Semakin lama dan semakin menyelam bersama Lampuki, saya semakin heran... semakin yakin... rupanya di dunia ini dipenuhi dengan pemakluman dan persepakatan. Sebagaimana sebuah idealisme awal kemudian sedemikian cepatnya menjadi sebuah barang usang. Teronggok dan tak dipakai lagi. Idelisme kemudian berubah menjadi konsumsi politis untuk meraih tujuan yang lain. Ya itu tadi... kekayaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri.
     saya bukanlah jenis pembaca yang cepat menyerah. Saya harus menuntaskan buku ini sampai akhir. Membacanya sampai mendapatkan gambaran yang pas, versi saya. Dan menulis resensinya, (eh bukan resensi ding, melainkan catatan membaca) sebagaimana yang saya janjikan kepada Bang Arafat Nur, kawan saya.[] 


See Reviev
Alin A rated it 
Pantas ya, jadi juara DKJ. Baca novel ini saya jadi banyak banyak banyak belajar. Tentang nasionalisme, pemberontakan, rakyat jelata, dan banyak sekali. Terutama tentang Aceh juga, ya :D Lampuki, cerita yang mengangkat kehidupan rakyat jelata di tengah-tengah keadaan kritis (semacam perang-perang gitu) :') KEREN!!
like 
 · see review
Imas rated it 
Lampuki, cerita kepedihan rakyat jelata ditengah gejolak perang antara pemberontak (?) dengan tentara pemerintah. Diceritakan secara jenaka, namun kepedihan tetap terasa. Kumis,pesong, tahi adalah kata-kata yang paling sering muncul.Lampuki memang layak memperoleh KlA 2011..congrats
like 
 · see review
Fauziyyah Arimi rated it 
Shelves: aceh, fiksi, owned-book, novel
welldone! i realized that i, even, love Aceh more than before. sedikit-banyak, saya merasa belajar :)
like 
 · see review
Za marked it as wishlist

Gilang Satria Perdana marked it as to-read

Ady Ahmed rated it 

Ria Djohani is currently reading it

Zahwa az-Zahra is currently reading it

Zuharin is currently reading it

Ginanjar rated it 

Aditya Hadi rated it 

Diaz Prasetyo marked it as to-read

Ravid marked it as to-read

SigitHarjo rated it 
Shelves: novel-indonesia

Ivan marked it as to-read

zie marked it as to-read

Aang marked it as to-read

Desi Puspitasari is currently reading it


Shan Vrolijk marked it as to-read


sinta nisfuanna marked it as wish-list

Endang Ahmad added it
Shelves: punya

Antonini Ramon marked it as to-read

Mas marked it as to-read

Dewi Kharisma marked it as to-read

Adi Toha rated it